Extreme Decay: Year of The Grind, Report from Sriwijaya Social Hub, Malang (VERSI PAHE)

A return of the Malang finest grind machine after a decade

official year of the grind, Extreme Decay photo by RIPCVLT
official Extreme Decay photo by RIPCVLT taken from Gembiralokaria IG

Year of The Grind adalah release party dari EP Antiviral yang dirilis 2021 lalu dan LP Downfall of God Complex yang rilis 2022. Media-media online mengatakan bahwa Extreme Decay vakum untuk satu dekade, tapi dari yang saya rasakan, mereka malah lebih aktif di lapangan daripada di balik studio, dan ini merupakan kondisi yang sehat. 2015 saja mereka menjalani tur Grinding Assault di Malaysia dan Singapura yang diulangi lagi pada 2018 melalui mini tour lintas negara yaitu Bintan, Riau dan Singapura. Hanya saja, memang terlihat vakum karena rilisan penuh terakhir mereka yang bukan split, bertajuk Holocaust Resistance saja rilis pada tahun 2010. Saya sendiri yang jarang keluar rumah saja, terakhir menonton Extreme Decay saat mereka ikut meramaikan tur Misery Index “Heirs to Thievery” pada tahun 2011. Akhirnya setelah hampir satu dekade, Extreme Decay muncul kembali dengan 1 EP di 2021 dan 1 LP di 2022, 2 rilisan yang cukup menjadi bukti produktivitas mesin gerinda dari Malang ini. 

Di Year of The Grind, Extreme Decay tidak hanya pesta sendirian namun menampilkan juga kawan-kawan dari Yogyakarta, Surabaya dan Malang yaitu To Die yang kali ini kembali ke format band, TamaT yang khusus kali ini membawakan format band dan hottest crossover thrash in Malang saat ini yaitu Dazzle. 

To Die mendapatkan giliran pertama untuk tampil. Kini dengan formasi terbaru yaitu Rangga, Bagus, Yossi dan satu-satunya member orisinil Indra Menus. To Die kembali ke fitrah format bandnya. Bagi angkatan saya, perkenalan saya dengan To Die ya dimulai dari To Die versi harsh noise, di mana Indra Menus beberapa kali mampir ke Malang hanya berbekal efek saja. Beberapa kali juga menyambangi dalam format supergroup Last Kiss To Die of Visceroth atau LKTDOV. Ini juga bisa dibilang pertama kali saya menonton To Die dalam format band, yang katanya terakhir kali tampil di Malang tahun 2002. To Die, dalam rangka tur ep terbaru, hanya memainkan 5 lagu di ep tersebut. To Die memulai setnya dengan intro harsh noise sebelum ke full powered grind machine. Tema EP terbarunya adalah tentang psikopat jepang Hiroshi Maeue yang memancing korbannya dengan via forum online suicide. Hiroshi yang mengambil kepuasan seksual dari mencekik korban yang awalnya diajak bunuh diri dengan menghirup karbon monoksida knalpot mobil, namun ternyata Hiroshi malah mencekik mereka sampai mati. Kutipan terkenalnya menjadi salah satu lagu dan judul EP I Wanted To Watch A Face in Agony. Hiroshi dikenal sebagai Lust Murder yang juga merujuk kepada sensasi kepuasan seksual setelah dia melakukan pembunuhan.

Setelah To Die menamatkan sesinya dengan outro noise lagi, tiba giliran TamaT. Proyek breakcore yang awalnya dianggotai oleh Reno Surya dan Eri Rukmana ini ternyata membawa format full band untuk konser ini. Sambil sesekali mengelola deck elektroniknya, Eri kali ini mengambil alih departemen vokal. Membawakan beberapa lagu dari album Togel dan Pesona Lidah Kulon. Ada pula kejutan di akhir sesi yaitu kehadiran Monox, vokalis 1984 untuk mengcover Toxic Holocaust. Tamat kemudian mengakhiri sesinya dengan cover theme song acara kuliner Aroma yang dulu dipandu Sisca Soewitomo kali ini versi breakcore.

Next, Dazzle sebagai penampil yang juga dari Malang memulai set mereka dengan sebuah cover lagu Battery dari Metallica. Sontak lagu tersebut mampu menyulap concert ground menjadi mosh ground. Kemudian setelah cover, kembali Dazzle membawakan lagu-lagu dari album Vanity and Void. Performa Syahidan, Ardyan, Agan, El bahkan berhasil menggaet fans baru yaitu fotografer yang ikut saya memotret event ini. Dazzle menutup sesi mereka dengan satu cover lagi dari Power Trip yaitu Executioners Tax.

Akhirnya tiba untuk empunya acara bersiap-siap. Formasi Extreme Decay kini diisi Ravi (gitar/vokal), Ruli (gitar/vokal), Nizar (bass/vokal), dan Eko (drum). Afril yang sempat menjadi vokalis kini menjabat sebagai manajer. Dimulai dari Intro – Kolaps, Antiviral dari EP yang disentuh remix noise oleh Indra Menus. Kemudian setelah itu masuk ke track Skeptik Tank yang ada di EP Antiviral versi rilisan fisik. Kemudian disambut Permanent Revolution on 235 BPM dari album Downfall of a God Complex. Dilanjut lagi dengan Lata Culpa yang masih dari LP Downfall of a God Complex. Sesekali Ravi menyampaikan thanks to kepada media partner dan pendukung acara, juga kepada pihak label Selfmadegod dari Polandia. Setlist Extreme Decay masih memainkan Downfall of a God Complex sampai UxDxHxG kemudian kembali ke Antiviral EP yaitu Antiviral dan Invasi Pengerat. EP Antiviral sendiri saya sempat berpikir, kok pas sekali rilis di era pandemi yang banyak membahas virus dan antivirus. Setelah kembali ke Demensia Kompleks dari LP Downfall of a God Complex, pertunjukkan kemudian jeda untuk menampilkan Indra Menus meremix LP tersebut dalam versi Drone.

Extreme Decay kembali ke stage dengan Geniroga dan Sisi Positif Berpikir Negatif. Extreme Decay kembali ke deru mesin gerindanya dengan lagu Year of the Grind yang juga tajuk acara serta Burn the Bridges, Pull No Punches. Saya yang memilih tidak turun ke mosh pit ber two step maupun slam dancing, memilih headbanging sampai leher agak pegal. Deretan lagu dari Downfall of a God Complex pun seakan berakhir di Menolak Ingat. Namun akhirnya setelah panggilan encore, sesi ini resmi ditutup dengan White Phosphorus Nightmare serta Dekomposer. Bisa dibilang full setlist dari Extreme Decay ini mengambil dari Antiviral EP dan LP Downfall of a God Complex. Uniknya masih ada afterparty di balkon Sriwijaya yang diisi TamaT versi Breakcore DJ yang membawakan Pesona Lidah Kulon. Saya sendiri memilih pulang dan makan soto Ni Yee di Jalan Mawar, karena lapar sekali. 

One thought on “Extreme Decay: Year of The Grind, Report from Sriwijaya Social Hub, Malang (VERSI PAHE)

Leave a comment